Art Talk #2

Art Talk #2– Curatorial and Arts Management
Seri kedua membahas tentang kuratorial dan manajemen seni dalam kaitannya dengan keterlibatan komunitas dan publik. Masyarakat modern telah memahami kebutuhannya akan seni. Tapi keinginan mereka tidak didukung oleh pemahaman mereka tentang esensi penciptaan seni, dari awal pengembangan ide sampai akhirnya sampai ke mata publik. Dari pertimbangan itulah, proses kuratorial dan manajemen seni menjadi sangat penting fungsinya sebagai penjembatan antara seni dan masyarakat. Bincang Seni ini mengundang tiga profesional seni yang berperan sebagai kurator dan manajer seni . Mereka akan membahas tentang bagaimana program jangkau masyarakat dalam organisasi non-profit di New York telah menjadi jalan untuk mengkomunikasikan seni kepada masyarakat, proses dan strategi dalam mengkuratori pameran bagi seniman muda serta upaya membangun nilai pasarnya, dan juga tentang semangat kolaborasi antar seniman melalui pendekatan program seni yang dinamis.
The second series discusses about curatorial and arts management associated with social and public engagement. Modern society has come to understand the urgency of art appreciation. But this urge is not supported by an understanding of the essence of art creation, from idea generation to public display. With such considerations, the process of curatorial and arts management have become significantly important in bridging between art and the public. This Art Talk invites three art professionals known as curators and art managers who will speak about how an outreach program in a non-profit organization in New York becomes a path to communicating art with the public, the process and strategy of curating young and emerging artist exhibitions and establishing their market value, and also about the spirit of collaboration between artists through the approach of dynamic art programs.

Saturday March 8, 4 pm-6 pm
Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta
Jl. Kemang Raya 99A
Jakarta 12730

ABSTRACT

Dian Ina Mahendra (Art Manager, Salihara Galeri)
Maju Terus Pantang Mundur: Kisah-kisah tentang manajemen lembaga seni rupa nirlaba
Kita selalu memimpikan negara dengan infrastruktur dan fasilitas pendukung kegiatan kesenian (baca: seni rupa) yang lengkap dan memadai. Jika itu tercapai, dengan alat-alat yang disediakan negara dan masyarakat untuk mendukung seluruh jaringan dan ekosistem seni rupa, apakah persoalan tentang kelangsungan dan kesinambungan akan terpecahkan? Hasil riset di New York menunjukkan bahwa harus ada upaya-upaya khusus yang dilakukan untuk menghubungkan dunia seni dengan masyarakat agar lembaga seni rupa terus mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Onward Never Retreat: Stories of Management of Nonprofit Arts Organizations
We always dream of a country with complete and adequate infrastructure and supporting facilities for artistic activities (read: art). If that is achieved, with the tools provided by the state and the community to support the entire art network and ecosystem, would the question of continuity and sustainability be solved? The results of research in New York show that there must be a special effort made to connect the community to the world of art with art institutions continuing to get support from the community.

Sally Texania (Independent Curator)
Seniman Muda dan Pasar Yang Berkembang

Memasuki tahun 2005-2008, pasar seni Indonesia diwarnai dengan banyaknya seniman muda yang cenderung ‘mudah’ memasuki arena pasar dan memulai karir mereka sebagai seniman. Namun, Setelah pecahnya ’gelembung pasar seni‘ di tahun 2008, pasar senirupa Indonesia dipercaya mengalami normalisasi. Tentunya, setelah normalisasi tidak semua pemain bertahan di arena tersebut dan pemain baru yang hendak masuk pun terus bertambah. Melihat secara pragmatis, kondisi ini didorong dengan melemahnya antusiasme pada karya-karya seniman baru. Meski begitu, saat dalam lingkup pasar seni rupa telah terjadi penurunan minat terhadap karya seniman muda, terjadi peminatan terhadap pengembangan apresiasi seni di tanah air dengan berkembangnya kelas menengah baru. Maka, dengan kondisi tersebut bagaimana kemudian seniman-seniman ini secara ‘cair’ menghadapi situasi pasar? Dan bagaimana pula kemudian konsep ‘arena’ dikembangkan?. Melalui contoh kasus dan contoh pengkaryaan seniman muda Indonesia khususnya seniman muda Bandung, presentasi SENIMAN MUDA dan PASAR YANG BERKEMBANG akan melihat kemungkinan – kemungkinan mediasi dan distribusi dari seniman muda yang berkembang pasca boom 2008.
Young Artists and the Emerging Market
Between 2005 and 2008 the Indonesian art market flourished with new upcoming talents easily able to enter the art arena and start their careers as artists. However after the art market bubble burst in 2008, it became difficult for the young talents to survive this era while at the same time they face stepped up competition from an increasing talent pool. Pragmatically speaking this situation is influenced by the decreasing audience enthusiasm towards their artwork, therefore lower levels of interest towards their creations. In the meantime, an increase in appreciation towards Indonesian art flourished within the rising middle class society. Hence, with these opportunities and possibilities how will these young artists respond to this situation? How then could we expand the concept of the ‘art arena’? With samples of exhibitions and artworks of young, Bandung-based Indonesian artists, this presentation would like to share some perspective on finding possibilities of mediation for the young artists who started their careers post 2008.

Reza Afisina (Artist/Artistic Director, ruangrupa Arts Laboratory)
Kontribusi terhadap tradisi kolaborasi dalam relasi artistik yang cair dan dinamis.
Selama kurun waktu sepuluh tahun dan saat ini, proyek-proyek seni ruangrupa telah menempatkan banyak kegiatan seni / proyek yang dirancang dalam berbagai bentuk kerja kolaboratif yang melihat subjek kota sebagai konsep dasar karya.
Pedoman untuk memahami subjek dari kota kemudian digunakan untuk membaca, mengartikan dan melibatkan banyak fenomena kota, yang secara langsung berkaitan dengan isu-isu sosial, ekonomi, politik dan budaya di semua elemen yang membentuk kota.
Berdasarkan fakta bahwa seni tidak lagi dapat bertindak secara pasif atau mengisolasi diri dalam banyak wacana di masyarakat, Ruangrupa terlibat dalam bentuk kolaborasi dengan sejumlah disiplin lain untuk menemukan formula yang dapat mengambil dan menjelaskan potensi produk canggih dalam perkembangan seni rupa kontemporer dan pengetahuan.
Contribution to the Tradition of Collaboration in Artistic Relations that is Fluid and Dynamic.
Over the span of ten years and at present, ruangrupa art projects have included many arts activities/projects that were designed in various forms of collaborative work that have looked at the subject of the city as the foundation to their work.
Guidelines to perceive the subject of the city were then used for reading, deciphering and engaging the many city phenomena, which are directly related to social issues, economics, politics and culture within all the elements that form the city.
Based on the fact that the arts can no longer act passively or isolate themselves from many discourses in the community, ruangrupa is involved in a form of collaboration with a number of other disciplines in order to find a formula that can take on and explain the potential of sophisticated products in contemporary art development and knowledge.

ABOUT THE SPEAKERS

Dian Ina Mahendra (Salihara Gallery Manager)
Dian Ina Mahendra menggeluti manajemen seni rupa sejak tahun 2003 dan saat ini bekerja sebagai pengelola Galeri Salihara, bagian dari Komunitas Salihara –sebuah pusat kesenian dan kebudayaan di Jakarta Selatan. Ia berpengalaman mengelola berbagai macam galeri sebelum akhirnya fokus pada pengelolaan lembaga seni rupa nirlaba, yang lebih memberi ruang eksplorasi bagi seniman Indonesia serta giat melakukan pendidikan pada masyarakat. Pada tahun 2013, Dian Ina menerima hibah dari Asian Cultural Council di New York untuk melakukan observasi dan riset mengenai praktek seni rupa kontemporer dan manajemen lembaga kesenian nirlaba di Amerika Serikat.
Dian Ina Mahendra has been working in the field of visual arts management since 2003. She manages Galeri Salihara, part of Komunitas Salihara –an art and cultural centre in South Jakarta. She had years of experience in art gallery management before focusing her career on the management of non-profit arts institutions dedicated to giving ample room for the exploration of artists and working for public education. In 2013, she received a grant from the Asian Cultural Council in New York to carry out observation and research on contemporary visual art practices and the management of non-profit arts institutions in the US.

Sally Texania (Independent Curator)
Sally Texania adalah lulusan strata 1 dengan predikat cumlaude Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (2009), dan mendapat gelar master of science di Pasca Sarjana Hubungan International UI (2012). Tahun 2008 saat dirinya masih menjadi asisten dosen Estetika di departemen seni murni ITB, Bandung, Sally memulai debut kuratorialnya yang berlangsung di ruang alternatif s.14. Pada saat yang sama, Ia mempelajari manajemen pameran di Selasar Sunaryo Art Space (2009). Saat ini bekerja sebagai curator dan penulis di berbagai institusi dan di beberapa galeri privat seperti Selasar Sunaryo, Artsphere, Galeri Sumarja, Galeri Canna, Fang Gallery, Ruangrupa dan Dia.lo.gue.
Sally Texania received her BFA from the Faculty of Art and Design at ITB (cum laude in 2009) and obtained a masters degree in International Relations majoring in Political Economy studies (2012). In 2008 she was an assistant lecturer for an aesthetics class at ITB and started her first curatorial project at the Bandung-based alternative space s.14. At the same time she developed her management skills by joining Selasar Sunaryo Art Space (2009). Currently she works as a curator and writer in various institutions and private galleries such as Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Sumarja, Galeri Canna, Fang Gallery, ruangrupa, Artsphere and Dia.lo.gue.

Reza Afisina (Artist/ Artistic Director, ruangrupa Arts Laboratory)
Reza Afisina mempelajari sinematografi, khususnya dalam bidang sound recording dan fitur dokumentasi di Institut keseninan Jakarta, Indonesia pada tahun (1995-1999). Dia pernah mengambil bagian dalam beberapa program pertukaran artis dan program residensi seniman dan juga dalam proyek-proyek kolaborasi seni di berbagai tempat. Afisina juga adalah anggota dari ruangrupa, sebuah kelompok artis inisiatif, yang didirikan pada tahun 2000, organisasi non-profit ini berfokus pada konteks perkotaan melalui penelitian, kolaborasi, workshop, pameran, dan publikasi. Dia berkerja sebagai koordinator program untuk ruangrupa dari tahun 2003 sampai 2007 dan kemudian menjadi direktur artistik di Artlab sejak tahun 2008.
Reza Afisina studied cinematography—specifically sound recording for film and documentary features—at Jakarta Institute of the Arts, Indonesia (1995–99). He took part in several artist exchange and artist residency programs and was involved in art collaboration projects in many different places. Afisina is a member of the Jakarta-based artists’ collective ruangrupa (est. 2000), a nonprofit organization focused on supporting art initiatives in an urban context through research, collaboration, workshops, exhibitions, and publications. He served as the program coordinator for ruangrupa from 2003–07 and has been the artistic director of their ArtLab since its inception in 2008.

ABOUT THE MODERATOR

JeonJeong-ok (Curator, Center for Art and Design, Surya University)
Jeon Jeong-ok adalah kurator di Center for Art and Design dan dosen di Departemen Technopreneurship, Surya University, Indonesia. Jeon telah mengkurasi, mengelola dan mengonsultasikan berbagai pameran seni dan event budaya di Seoul, Paris, Venice, Brisbane, Bangkok, Washington, DC, dan Jakarta. Selain pernah terpilih sebagai kurator tamu untuk Festival US ASEAN Film & Fotographer, di perhimpunan National Geographic, Washington DC, AS (2006), Jeon juga pernah menjadi kurator di SSamzie Space di Seoul, Korea (2002-2004), serta asisten kurator pameran Korean Pavillion di Venice Biennale ke-50, Itali (2003). Saat ini tengah menggarap beberapa pameran, diantaranya, “Arbotics,” sebuah pameran interdisipliner seni rupa dan robotika. Jeon mendapat gelar Bachelor of Fine Art, Universitas Ewha Womans, Korea dan Master of Art, Savannah College of Art and Design, AS.
JeonJeong-ok has been curating, organizing and consulting various art exhibitions and cultural related events in numerous cities, including Seoul, Paris, Venice, Brisbane, Bangkok, Washington, DC, and Jakarta. Her selected past positions include the guest curator of the US ASEAN Film & Photography Festival held in the National Geographic Society in Washington, DC (2006), the curator at SSamzie Space in Seoul, Korea (2002-04), and the curatorial assistant for the Korean Pavilion Exhibition at the 50th Venice Biennale in Italy (2003). Jeon is currently curating a group exhibition titled “Arbotics,” an interdisciplinary exhibition between art and robotic studies. Jeon holds a BFA from Ewha Womans University in Korea and an MFA from Savannah College of Art and Design in USA.